Senin, 10 Oktober 2016

Butterfly and Rose

Seekor kupu-kupu masuk dari jendela kamarku, ia lalu hinggap pada setangkai mawar merah dalam vas di meja belajar. Sayap birunya yang indah mengepak-ngepak dengan gemulai di atas mahkota sang mawar. Keindahan di sudut kamarku itu berbanding terbalik dengan diriku yang kini hanya meringkuk di kasur, tapi dengan mata sembab ini aku tetap menatap keindahan itu dalam diam.
Namun nekat, aku berdiri lalu melangkah perlahan untuk menyentuh sang kupu-kupu biru. Belum juga jemariku menjangkaunya, sang kupu-kupu telah membentangkan sayapnya dan terbang dengan cepat. Pergi dan hanya meninggalkan setangkai mawar dan kekecewaan di hatiku.
“Kau pun sama halnya dengan kupu-kupu, indah, namun saat kudekati engkau malah menjauh” Kataku sambil menatap foto berbingkai yang di dalamnya terpotret wajahku dan Adimas, lelaki yang kukagumi sejak dulu.
“Sarah, udah siap belum?” tanya Adimas dari teras rumah. Pagi-pagi dia sudah datang untuk berangkat sekolah bersamaku, dan karena dia bawa sepeda tentu saja aku yang dia boncengkan. “Sudah, ini tinggal pakai sepatu kok” Sahutku sambil memasang sepatu dan mengikatnya simpul.
“Cepetan! Nanti kalau sampai telat aku kalungin kamu pake belut sawah” Ancamnya. “Heleh, gak sadar diri. Bukannya kamu yang gak berani megang belut?” Aku membalasnya dengan sedikit candaan. Setelah mengecek kelengkapan sekolahku di dalam tas dan seragamku yang rapi, aku segera ke luar untuk menemui Adimas.
“Yuk ah, udah jam segini” Katanya lalu mulai menaiki sepeda dan menepuk-nepuk boncengan sepeda itu mempersilakan diriku naik. Tanpa pikir panjang aku segera duduk membonceng, ia pun mengayuh sepeda dengan perlahan. Angin yang lembut berhembus menerbangkan beberapa helai rambutku ke udara.
“Sarah, Mawar yang kuberikan kemaren masih bagus kan?” Tanya Adimas, matanya masih menghadap ke depan. Aku berpikir sejenak “Ouh, mawarnya masih bagus kok. Segar dan wangi, aku beri air es dalam vasnya sih. Hehe” Kataku sedikit narsis. Ia nampak mendengus geli, “Kukira mawarnya akan berakhir dalam sehari saja, ternyata kau cukup mahir merawat bunga juga ya”. Hei, kenapa ucapannya menjadi sebuah ejekan?.
Belum juga aku protes, kami sudah sampai di gerbang sekolah. Dia pun berhenti, aku turun dan membantunya menuntun sepeda sampai parkiran. “ok, bye. Ingat nanti malam lo ya!” katanya sambil menunjuk wajahku, aku jadi makin jengkel terhadapnya. Namun sayangnya lagi, belum juga aku semprot dia dengan protesanku ia sudah lari duluan ke kelasnya.
“Huft, nyebelin!” sungutku sambil berjalan ke kelasku dengan langkah yang menghentak-hentak karena marah. “Ini beneran Sarah si santai? Kok langkahnya menghentak kayak anak Paskibra?” Tanya sahabatku saat aku melangkah di kelas menuju kursiku di sampingnya. “Tenang Lia, aku masih seperti yang dulu kok. Cuma yang beda itu si Adimas, dia makin hari makin nyebelin tahu gak?” kataku sambil menghempaskan diri di kursi. Lia tertawa maklum mendengarnya, bel masuk sudah berbunyi. Aku dan Lia segera menyiapkan buku untuk mapel pertama hari sabtu ini.
Malam ini langitnya cerah, bintang-bintang berkerlip indah di sekeliling sang bulan yang tersenyum malu. Aku duduk di teras sambil menggenggam setangkai mawar merah yang telah kukemas cantik dengan diikat oleh seutas pita. Aku menunggu Adimas, ya, menunggu lelaki tampan yang ramah pada siapa saja itu.
Deru sepeda motor terdengar mendekat, semakin jelas sampai berhenti saat tiba di pekarangan rumah. Adimas turun dari motornya lalu menghampiriku. Ia menggenakan kemeja kotak-kotak berwarna hitam dan celana jeans membalut kakinya. Ia nampak begitu gagah dan maskulin.
“Bagaimana? Keren kan?” tanyanya sambil memutarkan badan di hadapanku. “keren kok, keren deh” sahutku sekenanya. Tapi aku langsung mendekatinya, tanganku meraih kerah kemejanya dan membenahinya “Kerahmu tadi tertekuk, tapi sekarang udah rapi kok” kataku sambil menatapnya, mata kami bertatapan. Namun buru-buru aku melepaskan diri darinya.
“ini mawarnya” kataku sambil menyerahkan mawar itu padanya. “wah, makasih ya. Mana udah mau repot-repot ngerawat dan bungkusin pula” katanya sambil tersenyum padaku. “gak papa, tapi kenapa kamu beli mawarnya kemarin? Bukannya lebih baik belinya hari ini? Biar lebih segar begitu” sahutku. “Soalnya kemaren mawarnya tinggal satu ini doang, takut kehabisan aku beli sekalian aja deh” jawanya polos, kini aku hanya ber ‘ooh’ ria.
“Yaudah, sana buruan berangkat. Keburu gebetanmu ditikung jomblo kesepian loh. Hahaha” Godaku sambil menyikutnya. “Heee! Sarah kejam, tega banget sih kamu sama temanmu dari kecil ini huh?. Tapi gak papa deh, pasti Doi bakal seneng saat kukasih surprise beginian. Doain semoga tembakanku tepat sasaran dan berakhir pacaran oke?” katanya dengan semangat, aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.
“Tentu saja, semoga lancar” sahutku, ia pun pamit dan menaiki motornya untuk pergi. Deru motor itu semakin menjauh, suaranya semakin lirih menyisakan sepi. Meski begitu aku tetap tak bergeming menatap kemana arahnya pergi.
Sebanyak apapun aku berjuang untuknya, sebanyak apapun waktuku bersamanya, dan sebanyak apapun aku mengerti tentang dirinya. Tidak bisa menjamin bahwa dia akan mencintaiku selayaknya aku terus mencintainya dalam diam. Sekali lagi air mataku mengalir membasahi pipi. Ia kupu-kupu yang menarik, tentu wajar jika ia mencari bunga yang cantik. Dan aku sadar bahwa aku bukanlah bunga yang ia cari, aku hanya orang yang menemani hari-harinya, bukan orang yang mengisi hatinya.
Semakin aku berjuang, semakin ia menjauh dan pergi dari sisiku. Masa mudaku memang penuh dengan kisah cinta, kisah cinta bertepuk sebelah tangan yang pedih. Tapi setidaknya dengan begini hatiku tidak terasa sepi dan dingin. Karena sudah terisi oleh cinta pada sang kupu-kupu yang tak akan pernah kuraih.

"SELESAI"

1 komentar:

Lisa Nel mengatakan...

Asyik endingnya hati berbunga. Hehe