Senin, 10 Oktober 2016

PENSIL KEBAHAGIAAN.

Pada suatu hari, hiduplah seorang anak bernama Sanafika Dirsya. Bersekolah di SDSN Ceria dan duduk di kelas 5. Ia dikenal sebagai pemalas dan sering mendapat nilai jelek baik tugas maupun latihan. Tapi, Sanaf tetaplah Sanaf, tak ingin berubah menjadi lebih baik.
Di rumah, Sanaf menatap tajam kertas ulangan yang dipegangnya. “Haruskah nilai jelek yang tertera di kertas ini? Menyebalkan!” kesal Sanaf dan meremas kertas itu lalu membuangnya dengan asal. “Sanaf, kamu kenapa?” tiba-tiba mama sudah ada di dekatnya. “Aku gak apa-apa!” bohong Sanaf. “Kalau baik-baik saja, mengapa kamu meremas dan membuang kertas ini?” tanya mama sambil memegang remasan kertas yang dibuang Sanaf. Sanaf terkejut karena mama memegang kertas ulangannya. “Maaf ma, aku akan membuangnya!” ujar Sanaf dan ingin meraih kertas tersebut dari mama namun beliau menghindar lalu melihat isi kertas.
“Oh, ini nilai ulanganmu!” seru mama sambil menggelengkan kepala. Sanaf menundukkan kepala. Ia merasa bersalah. “Kenapa kamu membuangnya?”, “Aku gak mau mama marah!” tegas Sanaf. Mama mengangguk lalu memberikan sebuah pensil untuk Sanaf. “Ini pensil kebahagiaan. Dulu, mama pakai ini dan nilai selama bersekolah bagus. Tapi, mama harus belajar agar pensil ini mau membantu mama. Kalau mama gak belajar, pensil ini tidak mau membantu sama sekali. Sekarang pensil ini untukmu!” Sanaf heran menatap pensil itu dan bertanya-tanya apakah itu pensil ajaib atau hanya rencana mama agar Sanaf lebih giat belajar. “Mama gak bohong, terimalah!” akhirnya Sanaf menerimanya setelah mendengar pernyataan mama.
Sejak saat itu, Sanaf belajar bersama pensil itu untuk membuktikan apakah pensil itu ajaib. Dugaannya benar, selama mengikuti pelajaran, nilai Sanaf meningkat dan semakin memuaskan. Ia mendapat nilai bagus bahkan pernah tertinggi di kelas. Suatu hari, seseorang mendatangi Sanaf dan bertanya mengenai dirinya yang semakin hari mendapat nilai bagus. “Zimal, aku belajar dengan giat, bukan karena suatu hal apapun!” bohong Sanaf. “Aku gak percaya dan.. apa karena pensil itu kamu menjadi pintar?” Zimal, teman sekelas Sanaf mulai mecurigainya. Sanaf yang tenang menghadapi Zimal tiba-tiba tegang. “Serahkan pensil itu!” pinta Zimal sambil merebut pensil pemberian mama Sanaf. “Gak, ini milikku. Berani sekali kau merebutnya!” terjadilah perebutan pensil antara Sanaf melawan Zimal membuat teman kelas sekitarnya melihat ke arah dua rival tersebut. “Cukup. Aku akan membuktikan bahwa pensil ini ajaib. Kamu selalu memakai pensil ini dan tak pernah mendapat nilai jelek sejak memakai pensil ini. Lihat saja, kamu akan mendapat nilai jelek kembali setelah pensil ini ada di tanganku!” Zimal pergi meninggalkan tatapan liciknya. “Zimal!” Sanaf berteriak dan bersedih sepanjang pelajaran di sekolah.
Bel pulang berbunyi, Sanaf mempercepat langkahnya menuju rumah. Ia langsung memberitahu mama bahwa pensil kebahagiaannya diambil oleh Zimal, teman kelasnya. Mendengar itu, mama tersenyum membuat Sanaf heran. “Mengapa harus bergantung pada pensil itu? Tanpa pensil tersebut, kamu bisa dapat nilai bagus!” ucap mama. “Bagaimana caranya?” , “Kamu harus belajar dengan giat. Berubahlah menjadi lebih baik. Kalau kamu berubah menjadi lebih baik, maka masa depanmu juga akan baik!” jawab mama. Sanaf terdiam mendengar jawaban mama.
“Jadi, itu hanya pensil biasa? Keraguanku selama ini benar. Aku akan berusaha menjadi lebih baik. Aku gak butuh barang apapun untuk menjadi hebat karena hebat itu berasal dari diri sendiri. Maaf kalau Sanaf selama ini malas. Terimakasih mama!” Sanaf memeluk mama tercinta disambut mama yang memeluk dengan erat. Batinnya berkata,”Anakku berubah!”.
Hari ke hari, Sanaf semakin giat belajar menggapai mimpinya. Ia tidak dikenal pemalas, namun dikenal murid terpintar di kelas. “Sanaf, kau..”, tiba-tiba Zimal menghampiri Sanaf. Sanaf hanya menaikkan sebelah alisnya. “Kau.. mengapa bisa? Mengapa nilaimu meningkat tanpa pensil di tangan ini? Aku yang mencoba pensil ini bahkan tak mendapat hasil apapun. Apakah kamu mempunyai kekuatan ajaib? Apa kau curang? Atau..”, “Cukup. Jangan menuduhku seperti itu!” Sanaf mengambil pensil di tangan Zimal lalu membuangnya ke tempat sampah. “Kamu gak harus tergantung dengan pensil itu. Itu hanya pensil biasa!” mendengar itu, Zimal terkejut. “Pensil itu pemberian mamaku. Beliau berbohong bahwa pensil itu ajaib yang akan membantu mendapatkan nilai bagus baik tugas maupun latihan asalkan harus belajar yang giat. Jika tidak, pensil itu tak akan membantu. Tapi semua itu hanya kebohongan. Mama ingin agar aku belajar giat dengan cara seperti itu!” Sanaf menjelaskan tentang pensil tersebut pada Zimal. Suasana menjadi hening.
“Mengapa kita mudah percaya dengan hal seperti itu? Semua orang pasti tahu bahwa untuk meraih sukses harus berdoa dan berusaha. Bukan mempercayai barang seperti itu. Maafkan aku Sanaf, karena pensil tersebut, kita bagaikan musuh!” Zimal mengambil kesimpulan lalu meminta maaf pada Sanaf. “Aku juga minta maaf!” akhirnya, mereka saling bermaafan. Dalam hati Sanaf, ia bersyukur karena ia tidak menjadi pemalas karena mama dan sebuah pensil.
Selesai.

Tidak ada komentar: