Senin, 10 Oktober 2016

SEPATU HITAM DI BALIK JENDELA

“Kringg… kringg… kring..” suara alarm membangunkan Alya. Terkejut ia setelah melihat jam tepat menunjukkan pukul 07.00. Ia langsung melompat dari kamar tidurnya. Langsung diambil handuk di luar kamar mandi. Dengan begitu sigap ia selesaikan mandinya. Ini mungkin akan membuatnya terkena marah Salwa, karena hari ini ia berjanji akan menemani Salwa ke toko buku jam 07.00 tepat. Ia juga meninggalkan sholat Shubuh hari ini. Memang sial benar nasib Alya hari ini. Sepatu yang hendak ia pakai belum juga ia ambil dari rak. Padahal Alya sama sekali tidak menyukai sepatu. Baginya sepatu itu layaknya monster, namun ia selalu memaksakan untuk memakainya.
“Bunda, bantu aku memakai ini, ini begitu sulit bagiku,” teriak Alya yang hendak mengenakan sepatu dari kamarnya. Ibunya yang mendengar itu hanya senyum-senyum sembari menggelengkan kepalanya. “Kamu ini Alya selalu begitu, pasti kamu juga meninggalkan sholat Shubuh hari ini, iya kan?” jawab ibu Alya berjalan mendekatinya. “Ah, Bunda bantu aku dulu, aku sedang terburu-buru. Iya Bunda, Alya minta maaf tadi Alya meninggalkan sholat Shubuh.” sahut Alya dengan nada teramat menyesal. Ibu Alya langsung membantunya menalikan tali sepatu anak satu-satunya itu.
Lalu ia ambil dompet yang ada di meja belajarnya kemudian berlalu ke luar meninggalkan ibunya. “Ibu Alya berangkat, Alya sedang buru-buru.” teriak Alya menuju ke luar rumah.
Sampai di depan rumah Salwa, Alya nampak berjalan mengendap-endap mendekati Salwa. “Alya…” panggil Salwa dengan nada menekan. Alya pun tersenyum mendengar itu. “Pasti ini akan terjadi, kamu ini Al dari dulu tidak pernah berubah.” tambah Salwa. Iapun membalasnya dengan senyum merayu Salwa agar tidak marah. Salwa pun sudah paham betul dengan sikap Alya jadi dia hanya menghela nafas panjang. Akhirnya keduanya pun bergegas untuk segera berangkat.
Di tengah-tengah perjalanan, Alya nampak melihat sepatu Salwa. “Mengapa kamu menatap sepatuku seperti itu Al, ada yang salah ya?” tanya Salwa dengan keheranan. “Emm, tidak kok, ayo cepat Al keburu siang nanti,” jawab Alya terlihat menyembunyikan sesuatu sambil menarik tangan Salwa. Sesampainya di toko buku seperti biasa Alya berpisah dengan Salwa. Ia mencoba mencari novel-novel kesukaannya di lantai 2. Sedangkan Salwa mencoba mencari buku-buku tentang kimia di lantai 1. Hal ini sudah tidak asing lagi bagi keduanya. Mereka selalu melakukan hal itu setiap kali pergi bersama ke toko buku.
Di lantai 2 Alya sibuk membaca-baca novel kesukaannya. Sampai-sampai ia tidak menyadari hari sudah hampir siang. Salwa mencoba mencari Alya di lantai 2, namun ia tidak juga menemukannya. Di tempat rak-rak buku novel, Salwa juga tidak menemukan Alya, lalu kemana dia pergi. Ternyata Alya baru saja dari kamar mandi, ia mencoba untuk meminta maaf pada Salwa karena telah menunggunya lama tadi. Baru saja dua langkah ke depan Alya tiba-tiba saja jatuh tersungkur di depan Salwa. Semua pandangan tertuju pada Alya.
Seketika wajah Alya memerah, sambil mencoba untuk bangkit dibantu Salwa. Salwa pun merasa bingung dengan Alya mengapa dia hari ini begitu aneh. Dengan cepat Alya menarik tangan Salwa menuju ke kamar mandi. Dengan tali sepatunya yang terlepas ia mencoba untuk menahan itu dan segera ke kamar mandi. “Alya ada apa denganmu kamu terlihat begitu aneh hari ini, itu juga tali sepatu kamu terlepas, taliin gi,” ucap Salwa. Alya mencoba menjelaskan semuanya pada Salwa mengenai semua rahasia yang ia miliki. Mendengar itu Salwa begitu terkejut dan lucu, hal ini membuat Salwa menertawakan Alya. Karena respon Salwa yang seakan mengejek, Alya pun berubah menjadi marah. “Kamu ini Sal tidak setia kawan, aku marah sama kamu,” kata Alya sembari memalingkan mukanya. “Beneran kamu mau marah sama aku, terus yang bantuin kamu taliin sepatu kamu siapa?” jawab Salwa meledek. Akhirnya Alya dengan terpaksa menarik kata-katanya itu dan mencoba merayu Salwa. Dan pada akhirnya Salwa mulai membantu Alya menalikan tali sepatunya yang terlepas. Kemudian mengajak Alya pulang.
Sepanjang perjalanan Salwa terus-terusan menanyai Alya tentang keanehannya itu. Akan tetapi Alya menjawab dengan begitu dingin dan berjalan agak depan dari Salwa mencoba untuk menjauhinya.
“Alya, iya-iya aku minta maaf, aku janji nggak akan ngeledek lagi kok,” seru Salwa.
Alya seketika berhenti dan menoleh ke belakang sembari tersenyum. Keduanya saling bercanda di sepanjang perjalanan pulang.
Setelah sampai di rumah, Alya nampak begitu lesu. Dilempar sepatu yang ia kenakan itu ke luar rumah. Dan mengenai ayahnya yang baru pulang dari kantor. Tetapi tanpa meminta maaf Alya langsung berlari menuju kamarnya. Ayah Alya sudah menebak watak putrinya yang tidak pernah berubah itu dan tetap melanjutkan jalannya.
Di kamarnya yang cukup luas, ia melihat keadaan sekeliling yang nampak berantakan. Ini semua membuat Alya semakin naik darah, dan memarahi pembantunya. Ibunya yang mendengar ada keributan di kamar Alya segera menuju kesana, diikuti juga ayahnya. Bukan pembantunya yang kena marah melainkan Alya yang sikapnya selalu saja kekanak-kanakan itu. Setelah keributan mereda semua pergi meninggalkan kamar Alya kecuali Alya. Dia mencoba melupakan semuanya dengan merebahkan badannya di kasur. Baru beberapa menit ia langsung terlelap. Ia bermimpi ada sebuah sepatu besar yang menjatuhinya. Alya pun langsung terbangun sembari berteriak kencang. Teriakannya itu membuat ayah dan ibunya kaget dan mencoba menghampiri Alya untuk memastikan apa yang terjadi.
Setelah Alya menceritakan semua, ayah dan ibunya tertawa dan mencoba untuk menenangkannya karena itu semua hanya mimpi. Segera Alya menyuruh ibunya untuk menyimpan semua sepatu-sepatunya kecuali sepatu yang tidak bertali. Ia beranggapan semua itu layaknya monster yang selalu saja menghantuinya. Akhirnya setelah tenang kembali, Alya melanjutkan untuk tidur siang.
Sore itu, untuk menikmati sunrise, Alya mengajak ayahnya jalan-jalan di dekat alun-alun yang tidak jauh dari rumahnya. Sesampainya di alun-alun keadaan terlihat ramai. Di setiap sudut alun-alun terdapat berbagai jenis makanan yang diperdagangkan.
“Al, ayah mau beli minum dulu, ayah haus kamu disini atau ikut?” tanya ayah Alya.
“Tidak Yah, aku disini saja duduk, aku sedang tidak ingin kemana-mana,” jawab Alya loyo.
Setelah ayahnya beranjak pergi, pikirannya terbesit suatu kekonyolan mengenai mimpinya tadi. Dia pun dengan segera menghilangkan pikiran-pikiran anehnya itu. Tiba-tiba saja ada sebuah sepatu yang terlempar dan itu mengenai kepala Alya. Dia merasa kesakitan, kepalanya juga pusing. Sekaligus juga ia menahan marah, Alya pun hanya tersenyum melihat orang-orang di sekitarnya.
“Aduh sepatu siapa ini, sakit,” batin Alya sambil memegangi kepalanya yang masih sakit.
“Kamu kenapa Al?”, tanya ayahnya yang kembali dari membeli minum.
“Ini yah, tadi aku terkena lemparan sepatu, entah siapa yang melempar,” jawab Alya.
“Ya sudah lah Al, mungkin ini teguran buat kamu, ini minum dulu pasti kamu juga haus kan?” sambung ayahnya
“Maksud ayah?” sahut Alya lagi penasaran.
Kemudian ayahnya tidak melanjutkan menjawab dan segera mengajaknya pulang karena hari juga sudah hampir larut. Bintang malam juga mengedip pada Alya mengajaknya untuk segera pulang dan melupakan kejadian tadi. Sebelum pulang Alya mengambil sepatu itu dan hendak untuk membuangnya nanti. Di sepanjang perjalanan, ia tidak henti-hentinya memikirkan ucapan ayahnya tadi yang belum sempat terjawab.
“Teguran? Teguran apa yang dimaksud oleh ayah,” bantinnya dalam hati.
Dengan segera ia percepat langkahnya menyusul ayahnya yang sudah ada di depannya.
Kemudian setelah sampai di rumah, Alya ingin segera membuang sepatu yang mengenainya tadi. Lalu tiba-tiba saja pikirannya itu berubah, mungkin ada sesuatu yang bisa merubah hidupnya. Atau ada hikmah di balik sepatu itu. Sehingga ia mengurungkan niatnya untuk membuang sepatu itu.
Keesokan harinya udara masih nampak segar menyelimuti sekitaran, hari ini Alya yang hendak pergi sekolah sudah terpejam dari waktu Shubuh tadi. Tidak seperti biasa yang selalu bangun kesiangan. Dia juga nampak berbeda hari ini tidak teriak-teriak lagi dan mulai bersifat lemah lembut. Sesekali ia mondar-mandir tanpa tujuan yang jelas. Sempat juga ia memandangi sepatu hitam yang mengenainya sore kemarin, ia nampak heran dengan sepatu itu yang nampak kesepian karena sebelahnya tidak ada. Dia mencoba meletakkan sepatu itu di dekat kaca, ia berpikiran mungkin dengan itu sepatunya tidak akan kesepian lagi. Karena pasti ada bayangan dari sepatu itu seolah-olah menjadi dua bagian atau sudah menjadi sepasang sepatu yang lengkap.
Setelah itu Alya menunggui ayahnya di mobil untuk berangkat ke sekolah. Saat ayahnya sampai di mobil, ayahnya nampak tercengang melihat Alya yang tidak biasa seperti itu. Ayahnya hanya tersenyum melihat perubahan anaknya itu. Di sepanjang perjalanan Alya juga tidak merengek seperti apa yang selalu ia lakukan. Ia terlihat diam sembari memandangi keramaian jalan ibukota. Setelah sampai di sekolah, wajahnya nampak lempeng-lempeng saja seperti tidak ada gairah untuk hidup. Setelah berpamitan dengan ayahnya, Alya langsung masuk ke dalam sekolah.
Tiba-tiba dari arah belakang, datang Salwa yang mengejutkan dirinya. Alya hanya menyenggol Salwa pelan karena merasa terkejut. Salwa hanya bengong melihat tingkah kawannya yang aneh hari ini. “Ada apa dengangmu Al? Kenapa sikapmu tidak seperti biasa, biasanya kan kamu sering marah-marah.” tanya Salwa pada Alya. “Ahh tidak kok Sal, mungkin itu hanya perasaanmu saja,” jawabnya dengan tenang. Salwa masih heran sembari memandangi sahabatnya itu dengan begitu seksama. Mereka berdua langsung bergegas menuju ke kelas.
Ketika jam tanda masuk sekolah sudah berbunyi semua siswa segera masuk ke kelas masing-masing begitu juga dengan Alya dan Salwa yang kebetulan juga satu kelas. Pelajaran pertama adalah pelajaran musik, pelajaran yang selalu dinanti oleh anak-anak. Kebetulan juga hari ini pengambilan nilai bermain alat musik solo. Alya terlihat pucat dan gemetaran. Salwa menyenggolnya untuk memastikan ia baik-baik saja.
“Kamu sudah siap kan Al?” tanya Salwa
“Emm, aku tidak yakin Sal, aku rasa aku begitu nervous hari ini,” jawab Alya sembari memainkan jari-jarinya untuk menutupi rasa nervousnya.
Setelah nama Alya dipanggil ia tampil ke depan. Mukanya masih terlihat pucat karena nervous. Ia mencoba menenangkan pikiran dan hatinya, dengan menikmati permainan alat musiknya yaitu biola. Nampaknya Alya begitu menghayati setiap nada-nada yang ia mainkan, guru musiknya juga terlihat begitu tercengang. Melihat perubahan drastis yang ditunjukkan Alya. Setelah selesai, semua teman-temannya memberinya tepuk tangan dengan begitu meriah dan haru, karena lagu yang ia bawakan sampai-sampai bisa menyayat hingga ke hati.
“Wah, Al kamu keren, bagaimana kamu bisa melakukan itu? Itu membuatku hampir menangis Al?” tanya Salwa dengan penasaran.
“Kamu Sal, itu terlalu berlebihan padahalkan hanya biasa saja,” jawabnya menyangkal.
Setelah pelajaran selesai semua murid kembali ke kelas, sembari merapikan buku-buku mereka karena sebentar lagi bel pulang sekolah akan segera dibunyikan. Salwa dan Alya masih sibuk dengan buku-buku mereka sendiri-sendiri. “Sal, nanti kita pulang bareng ya.” ajak Alya. “Tumben Al, kan biasanya kamu dijemput sopir kamu,” jawab Salwa dengan nada ragu. “Ternyata bosen juga Sal kalau harus dijemput terus, nanti biar aku kasih tahu sopir aku biar nggak jemput, nggak papa kan Sal?” rayu Alya. “Tidak masalah sih, hari ini kayaknya aku juga tidak di jemput.” jawab Salwa.
Keduanya akhirnya pulang bersama dengan menaiki angkutan umum, memang terlihat tidak biasa bagi keduanya. Namun bagi keduanya itu adalah pengalaman baru yang belum pernah mereka dapatkan sebelumnya. Benar saja, meskipun dalam kondisi sumpek dan pengap mereka malah saling bercanda dan tertawa. Merasa Alya yang seperti ini Salwa senang karena ia tidak harus menjadi seperti yang lebih tua dari Alya lagi. Mungkin karena sepatu kemarin yang mengenai Alya, itu semua mungkin teguran baginya. Dan itu yang membuatnya tersadar akan sifatnya yang selalu kekanak-kanakan.
Sesampainya di gang depan rumah mereka turun dari angkutan. Keduanya berpisah disitu karena arah rumah mereka yang tidak searah. Ketika Alya mulai berjalan agak jauh, tali sepatunya tiba-tiba saja lepas. Karena hari ini terpaksa ia harus mengenakannya lagi karena peraturan sekolah yang tidak boleh ia langgar. Namun kini ia sudah mulai terbiasa dengan sepatu bertali. Kemudian ia langsung duduk untuk membenahinya. Dari arah yang berlawanan nampak ada seseorang yang coba membantunya. Alya pikir itu siapa karena sebelumnya ia belum pernah melihat orang itu.
“Sini biar saya bantu Nak, kamu terlihat kerepotan, kalau kamu bayangkan sepatu ini hendaknya kamu bersyukur karena sepatu yang melindungi kamu, ini layaknya kedua orangtuamu, dan sepasang sepatu ini mengibaratkan kita yang tidak bisa hidup jika hanya sendiri dan tentunya selalu membutuhkan yang lainnya yang cocok dengannya, lalu tali ini yang mengikatmu rapat-rapat agar kamu tidak terjatuh, ini ibaratkan sahabatmu yang selalu menemanimu disaat kamu terjatuh dan mencoba membantumu agar kamu tidak terjatuh lagi. Jadi patutnya kita harus belajar dari sepatu. Meskipun terlihat kecil namun memiliki makna yang luar biasa.” Kata seorang wanita setengah baya yang membantunya menalikan sepatu Alya.
Mendengar semua itu, hati Alya seakan baru saja dibuka. Ia terlihat amat menyesal dengan sikapnya yang selalu saja bodoh. Setelah mengucapkan terima kasih, ia segera berlalu sambil menahan air matanya yang seakan mulai membasahi matanya. Dengan segera ia berlari menuju ke rumah. Tiba-tiba saja ia langsung memeluk ibunya yang sedang melihat-lihat tanaman kesayangannya. Ibunya kaget, apa yang telah terjadi pada Alya. Alya juga menangis dan mulai mengeratkan pelukannya. Ibunya hanya bisa bernafas lega, dan mencoba untuk menenangkan Alya untuk menghentikan tangisannya.
Ibunya mengajak Alya masuk karena tidak enak dilihat tetangganya. Dengan segera Alya langsung meminta maaf, ayah Alya yang berada di luar rumah mulai mempercepat langkahnya untuk segera masuk. Disitupun Alya mulai meluapkan semua kebodohannya selama ini dengan memeluk kedua orangtuanya dengan terus-terusan meminta maaf. Kedua orangtuanya pun juga memeluk Alya erat sembari memberikan kata pemberian maaf yang tulus. Karena selama ini mereka sudah memaafkan Alya. Sekarang Alya telah tumbuh menjadi gadis yang lebih bijaksana dan lemah lembut ketika ia dihadapkan pada suatu masalah.
“Ya, karena sepatu hitam ini, aku sadar walau dulunya seperti monster bagiku namun sekarang telah menjadi cermin bagiku untuk berkaca tentang bagaimana diriku. Aku juga tidak akan membiarkan sepatu ini kesepian sehingga aku letakkannya di dekat kaca jendela. Agar terlihat mereka berdua, seperti layaknya sepasang sepatu yang selalu menginspirasiku.”

"Selesai.

Tidak ada komentar: