Senin, 10 Oktober 2016

Forgetting All

“Assalamualaikum,” ucap Felly saat ia tengah membuka pintu rumahnya.
“Waalaikumussalam,” jawab Anjani. Mama Felly yang masih terduduk di ruang tamu.
“Mama! Tumben belum tidur, Ma? Biasanya, setiap Felly pulang kerja, Mama udah tidur?!,” kata Felly dengan mencium telapak tangan Mamanya.
“Pasti ada yang menganggu pikiran Mama, ya?!,” tanya Felly dengan duduk di samping Mamanya.
Anjani mengangguk perlahan dengan menatap mata putrinya. Kemudian, ia menerawang dengan melihat taman depan rumah yang masih segar dengan suara air mancur.
“Ma, Mama kenapa?!,” tanya Felly.
“Gimana sama kerjaan part time kamu? Rame nggak tadi tokonya?”
“Ma, Felly bukan nanya itu. Sekarang, Mama bilang sama Felly. Mama kenapa?”
“Kamu memang putri Mama. Tahu, aja kalau Mama lagi berbohong sama kamu.”
Felly tersenyum lega saat dugaannya benar. Dengan cepat, Ia membenarkan posisi duduknya setelah meletakkan tas kerjanya.
“Sebentar lagi kan idu fitri, Fel. Mama bingung mau ngelakuin apa?”
“Hah?! Kok bingung, Ma?! Emang Mama mau ngapain? Banyak ya, yang harus Mama lakuin di hari lebaran. Ma, tahun ini, Mama nggak masak apapun untuk makan bersama setelah kepergian nenek.”
“Bukan itu, sayang. Mama masih bingung apakah Mama ke rumah Oma (Ibu dari pihak Ayah) atau tidak? Kamu tahu kan, apa yang sudah terjadi di antara kita? Mama masih bingung harus bagaimana.”
Felly pun menghembuskan nafas beratnya. Kemudian, Ia menatap meja ruang tamu yang memantulkan wajahnya. Jauh di dalam sana, ia kembali mengingat masa-masa sulitnya yang begitu tajam dan keras.
Bagaimana tidak? Di masa itu, Mama dan Papanya sempat akan bercerai karena konflik Papanya yang selingkuh. Felly bahkan tidak pernah menyangka kalau Papanya akan setega itu menyakiti Mamanya. Padahal, Mamanya adalah orang yang benar-benar sabar dan telaten dalan menghadapi apapun.
Untuk pertama kalinya, ia dapat melihat Mamanya hampir gila karena depresi. Sehingga, Felly mengizinkan Mamanya untuk pulang ke rumah neneknya agar dapat menenangkan pikirannya dan membiarkan Papanya hidup bersamanya dengan seluruh kepolosan Felly. Dalam artian lain, Papanya hidup tanpa kewaiban seorang istri.
“Kamu, kenapa Fel?”
“Enggak kok, Ma. Felly hanya keinget aja sama masa-masa longlestnya Mama sama Papa.”
“Maafin Mama ya, sayang. Karena Mama, kamu harus menanggung semua ini.”
“Ma, semuanya udah ada di garis takdir Tuhan. Felly nggak bisa melakukan apapun selain berusaha.”
“Iya sih, tapi karena kamu juga Mama sama Papa bisa kembali lagi seperti dulu tanpa harus melewati perceraian.”
“Nggak kok, Ma. Oh ya, untuk masalah kunjungan Mama ke rumah Oma, Mama tetep aja ke sana. Oma juga bakalan mengerti bagaimana perasaan Mama dan juga posisi Mama. Mama bisa datang dengan kebiasaan Mama sekaligus meminta maaf.”
“Berarti, Mama harus bikin kue kesukaan Oma?”
Felly mengangguk mantab.
“Emang, kira-kira Oma mau makan kue buatan Mama?”
“Ma, Allah aja maha pemaaf. Masak, Oma nggak bisa maafin Mama? Lagipula, semua yang terjadi itu, bukan atas kehendak Mama dan Papa sendiri. Tapi, kehendak Allah yang menguji Mama dan Papa dalam mengaruhi bahtera rumah tangga.”
“Gitu, ya sayang?!”
Felly mengangguk lagi dengan senyuman ramah dan teduhnya.
“Ma, Idul fitri itu hari yang berkah dan penuh dengan kemenangan umat islam. Hari untuk saling memaafkan. Dan juga, hari dengan seluruh kebahagiaan umat islam. Masak sih, Mama sejahat itu untuk merusak kebahagiaan dan keberkahan hari itu dengan permusuhan yang ada di masa lalu. Ma, masa lalu itu jangan terus diingat sebagai permusuhan karena isinya emang begitu. Tapi, rubahlah sebagai pelajaran untuk menempuh kehidupan yang lebih baik.”
“Percuma juga, Ma kalau Mama lebaran-lebaran masih musuhin orang. Mertua pula. Dosa kali, Ma. Percuma Mama puasa satu bulan, tapi ujung-ujungnya masih musuhin orang. Allah nggak bakal nerima, Ma!,” ucap Dion yang muncur dari bilik tembok dengan membawa camilan dan minumannya dari dapur.
“Dion nggak bisa tidur, Ma. Udah dimeremin tapi tetep aja melek. Terus kedenger suara Mama sama Kakak. Jadilah Dion bangun. Sekalian deh, nungguin sahur. Oh ya, Papa kemana? Masih belum pulang, Ma?”
“Papa masih tidur, sayang.”
“Dasar! Kebo!”
“Hush! Papanya sendiri dibilang kebo!,” kata Felly.
“Lah, emang gitu, kan?!”
“Awas aja kamu ya?! Uang jajan di kurangi sama Papa baru tahu rasa!,” ucap Papa mereka dengan mengucek sebelah matanya.
“Papa!,” kata Dion terkejut dengan menghentikan kunyahannya dan sorotan mata yang takut.
Anjani dan Felly pun tertawa melihat Dion yang ternganga. Hingga akhirnya, mereka berkumpul dalam kehangatan keluarga di malam bulan Ramadhan dengan dinginnya ice cream coklat dan juga camilan ringan dan renyahnya tawa keluarga..


"SELESAI"

Tidak ada komentar: